Mentari
pagi ini sudah mulai menyapaku dengan hangatnya,ia tersenyum hangat menyambutku
yang hari ini akan menjalani hari baru di sekolah yang baru. Sejak jam enam
pagi aku sudah siap untuk sarapan dan segera berangkat ke sekolah baruku yang
ku bayangkan akan lebih ramai daripada sekolah lamaku yang aku tinggalkan
karena aku dan keluargaku pndah rumah ke kota kembang Bandung ini.
Papaku
sepertinya ingin membuat aku semakin penasaran dengan sekolahku yang baru, dia
lama sekali aku tunggu-tunggu sejak tadi untuk mengantarku sekolah di sekolah
yang baru. Pikiranku terus menerka-nerka dengan keadaan sekolahku yang akan
sangat mengasyikan dan di huni oleh orang-orang yang karasep dan gareulis
kalau bahasa Bandungnya yang berarti ganteng-ganteng dan cantik-cantik karena
yang aku tahu katanya orang Bandung itu terkenal dengan keramahannya dan
kerupawanannya.
Akhirnya berangkat juga aku sekolah,
rumahku semakin menghilang dari kaca spion, jantungku dag dig dug tak karuan,
aku begitu senang dengan kota ini dan semoga aku juga bisa senang dengan
sekolah baruku nanti. Papa terus menyemangati aku, dia terus menceritakan
keadaan kota ini dan sekolah baru yang sedang ku tuju ini. Ayah sedikit ngebut
karena tak ingin aku datang terlambat di hari pertamaku.
Akhirnya aku sampai di sekolah baruku
yaitu SMA Nusa Bhakti dengan tepat waktu, dan bahkan aku masih punya sepuluh
menit untuk bisa bernafas lega terlebih dahulu sebelum memasuki kelas baruku
sementara papaku ngobrol dengan pihak kepala sekolah. Sembilan menit kemudian
pak kepala sekolah keluar dari ruangannya dan mengajak aku yang sejak tadi
duduk di depan ruang kepala sekolah menunggu ayahku bicara dengan beliau untuk
mengikutinya menuju kelas baruku di SMA Nusa Bakhti ini. Setelah papaku
berpamitan untuk segera ke kantornya, aku segera mengikuti langkah kaki tegas
bapak kepala sekolah yang gagah di depanku ini, aku tertunduk mengikuti beliau
karena tatapan anak-anak yang ada di sekolahku yang baru ini membuat aku merasa
sedikit aneh, mungkin karena aku murid baru yang asing dengan mereka.
Langkah kakiku akhirnya sampai juga di
dalam kelas yang kata pak kepala sekolah ini adalah kelas baruku, belum ada
guru yang masuk kelas ini, hanya ada para siswa/i yang masih asyik ngobrol dan
bercanda semaunya namun semua terdiam sesaat ketika aku masuk kelas ini, lebih
tepatnya karena bersamaku ada pak kepala sekolah. “Assalamu’alaikum...
anak-anak hari ini kalian mendapatkan teman baru di kelas ini, silahkan perkenalkan
nama dan asalmu!” pak kepala sekolah menyapa mereka dan mempersilahkan aku
untuk segera memperkenalkan diri dan asalku.
“Teman-teman, namaku Silvia Ridha
Adiguntara, aku pindahan dari Banjarmasin karena ayahku di pindah tugaskan ke
kota ini. Kalian boleh memanggilku Silvi, terimakasih!” itulah perkenalan
siangkatku.
setelah aku memperkenalkan diriku, pak
kepala sekolah sedikit memberikan penjelasan kepada mereka tentang kepindahanku
ke sekolah ini, dan selama beliau bicara aku melayangkan pandanganku ke
sekeliling kelas ini, dan ternyata yang aku perkirakan benar adanya bahwa
taman-teman baruku di sini memang keren-keren duh aku pasti betah deh ada di
sekolah ini, dan pastinya aku juga tidak akan kalah keren dengan mereka. Pak
kepala sekolah mempersilahkan aku duduk, karena ibu guru yang akan mengajar
pertama di kelas ini sudah datang dan pak kepala sekolah menutup pembicaraannya
dengan salam dan senyum ramah yang menguatkan kepribadiannya yang penuh karisma
ketegasan.
ada satu objek pandangan yang mencuri
perhatianku, tepat di barisan tempat dudukku selang dua orang saja ada seorang
yang membuat jantungku seperti genderang perang berdetak tak menentu. Beberapa
saat pandanganku terpaku padanya, dan sekilas ku palingkan wajahku saat tak
sengaja dia menoleh ke arahku yang sejak tadi memperhatikannya, namun sekilas
mata kami bertemu pandang dan dia segera berpaling dengan wajah yang tak ramah.
Aku semakin penasaran dengan si tampan penuh pesona itu, siapa ya namanya.
Seminggu telah ku lalui dengan sangat
menyenangkan di sekolah ini, aku kini sudah memiliki seorang teman akarab
bernama Herawati Anggraeni dan aku juga sudah tau nama laki-laki yang sejak
beberapa waktu lalu mencuri perhatian dan konsentrasiku, ya Firza Rahadinanta,
itulah nama lelaki yang ku kagumi dan mencuri perhatianku sejak aku masuk kelas
ini, namun sikap pendiamnya membuat aku kesulitan untuk bisa kenal bahkan untuk
akrab dengannya, tapi aku yakin pesona kecantikanku suatu saat akan membuatnya
sadar bahwa aku tak pantas di sia-siakan seperti ini.
Waktu yang paling membosankan adalah
waktu setelah pulang dari sekolah dan hanya terdiam sendiri di rumah tanpa ada
teman untuk sekedar ngobrol. Mamah dan papa sama-sama kerja sehingga aku hanya
di rumah saja dengan bibi yang bekerja dan tak bisa aku ajak ngobrol. Sepanjang
jalan aku terdiam di dalam angkot dengan panasnya udara hari ini membuatku tak
bersemangat pulang ke rumah dan berdiam diri, namun hanya itu yang bisa ku
lakukan karena aku belim memiliki banyak teman untuk ku ajak bermain dan jalan-jalan,
Hera tak mau akau ajak ke rumah karena dia ada acara keluarga. Setibanya di
rumah ada hal yang tak biasa,ada suara musik dari kamar di sebelah kamarku yang
mamah persiapkan untuk kamar bang Sidar. Asyik berarti Bang Sidar sudah ada di
rumah ini dan aku yakin aku tak akan pernah kesepian lagi.
Akhirnya bang Sidar mau juga ikut
pindah ke kota Bandung ini, dan ia juga akan segera mengurus administrasi di
kampus barunya nanti di Bandung, dan ternyata hanya aku yang tak tahu kalau
bang Sidar ikut pindah ke sini, mamah dan papa sudah tau sejak awal kalau
memang bang Sidar mau ikut pindah, dan mulai besok aku tak akan pergi ke
sekolah dan pulang dari sekolah dengan angkot lagi karena setidaknya sebelum
bang Sidar melanjutkan kuliahnya aku akan diantar jemput asyik!.
Ada hal yang sungguh ajaib hari ini,
ini adalah pertama kalinya Firza menyapaku dan berbicara padaku setelah
seminggu lebih aku berada di sekolah ini. Ternyata Tuhan mendengar do’aku dan
benar perkiraanku kalau suatu saat Firza akan mendekat juga padaku, walaupun
ini belum apa-apanya sih, tapi setidaknya Firza mau menyapaku saja aku sudah
bahagia. Firza menyapaku dan bicara padaku hanya untuk menanyakan siapa yang
mengantarku tadi pagi dan apa hubunganku dengan si tampan yang mengantarku tadi
pagi ke sekolah. Ku rasa Firza cemburu dengan Bang Sidar yang terlihat mesra
dan akrab denganku tadi pagi sebelum aku masuk gerbang sekolah. Asyikkkk
sebentar lagi aku akan menaklukan Firza, dan bang Sidar akan ku jadikan senjata
ampuh sebelum aku katakan yang sesungguhnya kepada Firza bahwa bang Sidar itu
adalah kakak kandungku yang paling tampan dan baik hati.
Kaget bukan main ketika ku masuki
rumahku hari ini, ini adalah minggu ketiga aku sekolah di sekolah paforit itu,
dan ini hal yang sangat ajaib aku bisa melihat Firza sedang duduk manis di sofa
tamu di ruang tamu rumahku. Masih tak bisa ku percaya Firza ada di hadapanku
saat ini, aku mengucek-ngucek mataku dan mencubit tanganku sendiri untuk
memastikan jika aku tidak sedang bermimpi atau berhayal. “Eh Firza sudah
datang, silahkan di minum jusnya!” suara bang Sidar yang baru saja masuk rumah
mempersilahkan Firza untuk meminum jus alpukat yang sudah di suguhkan Bi Milah.
Aku semakin heran dan semakin tak percaya dengan apa yang aku alami saat ini
bahwa Firza sedang berada di dalam rumahku sendiri, dan hal yang semakin
membuatku heran bang Sidar sudah mengenal Firza, dan ini berarti Firza tahu
kalau aku adalah adiknya bang Sidar bukan pacarnya bang Sidar.
Malu setengah mati, namun ini adalah
hasil dari kebodohan dan kecerobohanku sendiri, seharusnya aku bekerja sama
dengan bang Sidar dan kompromi bahwa kita sepakat pura-pura pacaran jika ada
teman yang mempertanyakan hubungan kami. Namun nasi sudah menjadi basi dan kini
mau tidak mau aku harus mengakui kebohonganku kepada Firza bahwa aku adalah
adik kandungnya bang Sidar. Tapi aku masih belum mengerti bagaimana bisa bang
Sidar kenal dengan Firza, setahuku setelah memastikan aku masuk gerbang sekolah
dan setelah aku sms bahwa aku sudah menunggu untuk di jemput, bang Sidar tidak
pernah sampai menungguku lama di sekolah, jadi agak mengherankan juga mereka
berdua bisa kenal, tapi sudahlah semua itu tidak penting, aku yakin Firza mampu
berbuat seperti ini hanyaingin tahu kebenaran tentang hubunganku dengan bang
Sidar yang ternyata adalah kakak kandungku satu-satunya.
Sejak saat pertemuanku dengan Firza di
rumahku sendiri dan obrolan kami bertiga tentang kebohonganku waktu itu, aku
dan Firza semakin dekat bahkan tak jarang Firza mengantarku pulang dan main di
rumahku dengan bang Sidar sampai sering menginap juga karena memang orangtuanya
Firza sama sibuknya dengan orangtuaku bahkan lebih sibuk lagi sampai-sampai
Firza sering di tinggal sendiri keluar kota untuk urusan pekerjaan sejak kecil.
Aku merasa begitu bahagia akhir-akhir
ini, setahun sudah aku hidup di kota Kembang ini dengan sangat menyenangkan dan
semakin akrab dengan teman-teman sekelas, seorganisasi dan ekskul, dan yang
lebih membuatku bahagia adalah aku bisa begitu sangat akrab dengan Firza yang
aku sukai sejak awal aku masuk sekolah di Bandung ini. Dan bukan hanya denganku
Firza juga sangat akrab dengan bang Sidar dan kedua orangtuaku sehingga ia
sudah dianggap sebagai anak sendiri oleh kedua orangtuaku. Ini membuatku
semakin yakin kalau aku bisa menjadi pacarnya Firza maka seluruh anggota
keluargaku pasti akan setuju-setuju saja karena mereka sudah sangat mengenal
Firza dengan baik. Namun aku bingung dengan sikap Firza yang begitu perhatian
denganku dan keluargaku, hingga detik ini ia tak pernah mengatakan apa-apa
tentang perasaannya kepadaku seperti yang aku rasakan kepadanya dan aku
harapkan darinya kepadaku.
Hera sepertinya hafal betul dengan
kebiasaanku yang selalu menceritakan apa yang terjadi, dan apa yang aku dan
bang Sidar obrolkan dengan Firza saat kami berada di rumahku. Sehingga ia
sering sekali memberikanku dorongan agar aku saja yang terlebih dahulu
mengungkapkan perasaan cintaku kepada Firza sebelum Firza benar-benar memilih
yang lain dan aku hanya bisa menangis karena tak pernah memanfaatkan kesempatan
untuk jujur tentang perasaan cinta yang aku pendam setahun lamanya.
Hari ini aku akan mengajak Firza untuk
pulang bersamaku kerumahku, dan di jalan akan aku ungkapkan apa yang mengganjal
dalam hatiku selama ini tentang perasaan kagum yang berubah menjadi sayang dan
perasaan sayang yang berubah menjadi cinta dalam hatiku ini. “boleh,
kebetulan aku juga ingin mengembalikan buku abangmu yang aku pinjam, tapi kamu
kabarin dulu bang Sidar supaya dia tidak menjemputmu hari ini”, ungkap
Firza menanggapi ajakanku hari ini. Aku senang mendengarnya, dan aku harus
yakin kalau rencanaku hari ini akan berhasil. Di tengah perjalanan aku minta
berhenti dulu untuk mampir di cafe yang kami lewati untuk makan siang bersama
dan disinilah aku akan menjalankan misiku.
Firza makan dengan lahap tanpa
memperdulikanku, dia menikmati hidangan demi hidangan yang ada di meja dan
sesekali meminum jus alpukat kesukaannya. Meskipun demikian Firza tetap
kelihatan tampan dan sangat mempesona, dengan cara makannya yang seperti itu membuatku
tersenyum sendirian karena dia terlihat begitu lucu. Aku tidak begitu banyak
menyantap makanan karena kondisi perasaanku yang begitu tegang saat ini, aku
lebih banyak menarik nafas untuk bersiap membuka percakapan dengannya yang ada
di hadapanku, aku ingin dia tahu sesungguhnya perasaanku kepadanya, ya Tuhan
bantulah aku!. Duh keringat dingin semakin desar mengucur dari dahiku, aku
seperti sedang berada diantara harimau buas yang siap untuk menerkamku.
“Fif...Fi...Firza, aku mau kamu tahu
tentang apa yang aku rasakan selama ini kepadamu bahw...” tergagap aku memulai
pembicaraan ini setelah melihat Firza menyelesaikan makanannya.
“Silvia... ada apa denganmu, wajahmu
pucat sekali?” segera Firza memotong pembicaraanku setelah ia tersadar wajahku
pucat pasi seperti kehabisan darah.
“tit..tidak apa-apa, jangan dihiraukan,
aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku mencintaimu...!!!” dengan setengah mati aku
mengungkapkan perasaanku, dan di kalimat terakhir aku setengah membentak
mengeluarkan kata yang selama ini sulit untuk ku ungkapkan kepada pemuda tampan
yang ada di hadapanku ini. Aku tak perduli apa yang sedang dia pikirkan saat
ini tentang aku, yang penting aku sudah berusaha sejujur-jujurnya tentang
perasaanku dan ini membuatku sedikit lebih tenang, dan rasanya aku sudah
mengeluarkan biji kedondong dari tenggorokanku yang sekian lama menyiksaku.
Dengan sedikit kecewa aku pulang,
punggung yang ada di hadapanku saat ini begitu hangat, dia yang selama ini
membuatku begitu merindu, hari ini dengan sekuat-kuatnya harus menerima
keputusannya bahwa dia tak bisa menjawab saat ini apa yang aku rasakan
kepadanya, namun dia berjanji akan memberikan jawabannya kepadaku secepatnya.
Setidaknya aku masih punya harapan dan aku akan berdoa kepada Tuhan semoga
jawabannya tidak akan membuatku kecewa. Setibanya di rumah aku segera masuk
kamar dan membiarkan Firza ditemani bang Sidar saja karena aku begitu merasa
syok dengan apa yang baru saja aku alami.
Malam ini begitu kelabu bagiku, dalam
penantianku atas jawabannya aku lebih banyak mengurung diri di kamar sejak tadi
siang pulang sekolah, dan hujan di luar seolah mengerti dengan perasaanku yang
gundah. Angin malam ini lebih kencang dari biasanya sehingga aku harus menutup
rapat jendela kamarku yang biasanya aku buka lebar-lebar sampai tiba saatnya
aku tidur. “Silvi, ayo makan dulu sini papa menunggu!”, suara mamah dari
depan pintu kamarku membuat aku segera tersadar dari lamunan kosongku. Dan aku
segera merapat ke meja makan karena perutku juga sudah begitu lapar. Namun aku
tak melihat bang Sidar di meja makan, mamah segera menyuruhku kembali keatas
untuk mengajak bang Sidar makan, dan dengan langkah yang berat dan terpaksa aku
kembali keatas dan segera masuk ke kamarnya bang Sidar yang sedikit terbuka.
Aku melihat dua sosok tampan dalam kamar itu sedang sama-sama terbaring di
kasur dengan posisi tangan mereka masing-masing memegang kepala seperti sedang
asyik curhat, aku kira Firza sudah pulang, ternyata sejak tadi siang dia
belum pulang dan bermain di kamar bang Sidar. Aku merasa iri dengan keakraban
yang terjadi antara bang Sidar dengan Firza. Padahal di sekolah Firza sangat
pendiam tapi dengan bang Sidar ia bisa seakrab itu, bahkan tidak merasa
canggung bermain di kamar bang Sidar dan tidur bersama kalau sedang menginap.
Pagi ini hanya aku dan bang Sidar yang
duduk sarapan di meja makan, karena Firza sudah pulang dari sejak subuh untuk
ganti baju. Pagi ini aku malas datang ke sekolah karena aku merasa malu dengan
Firza, inginnya aku di rumah saja sampai Firza benar-benar mau menjawab
perasaanku dan memastkan hubungan kami. “Via tunggu dulu ya, abang ngambil
jaket dulu di kamar”, aku hanya mengangguk menanggapi permintaan bang Sidar
untuk menunggunya mengambil jaketnya di kamar. Namun tak lama kemudian setelah
bang Sidar berlalu ke kamarnya, handphonenya bang Sidar yang di tinggal di meja
makan berbunyi sepertinya ada sms masuk dan aku iseng membukanya dengan sedikit
penasaran sms dari siapa yang masuk ke handphone bang Sidar.
“Yank, tolong kalau kamu
nganter silvi ke sekolah bawain buku Kimia aku yang ketinggalan di kamar kamu
ya,hari ini mau dipake. Makasih Yank ‘I LOVE YOU’”.
Bagai di sambar petir di siang bolong
dan di dera hujan aku kaget bukang kepalang dengan pesan singkat yang baru saja
aku baca di handphonenya bang Sidar. Airmataku seketika meleleh membasahi
pipiku dan mulutku berteriak “Tidak!!!” tanda kekecewaanku dengan
kenyataan yang baru saja menimpaku begitu dahsyat. Dua lelaki yang begitu aku
kagumi dan aku cintai ternyata mereka sama-sama saling mencintai tanpa perduli
jenis mereka yang sama sebagai laki-laki.
“Aku dimana ini?” ketika membuka mata
aku kaget karena aku kini berada di ruangan yang seperti desain rumah sakit,
dan ternyata benar ini adalah rumahsakit. “sedang apa aku disini, kenapa aku
disini?” gumamku dalam pikir.
“jangan banyak pikiran, beristirahatlah
sebentar lagi orangtuamu kesini!, tadi kamu diantar abangmu kesini karena
pingsan.” jelas seorang dokter yang sepertinya mengerti kebingunganku.
“lalau sekarang dimana bang Sidar?”
“dia ada diluar, mau aku panggilkan?
Tanya dokter itu sambil memeriksa keadaanku.
Sejurus setelah doketr yang memeriksaku
keluar bang Sidar di ikuti Firza masuk kedalam kamar tempatku berbaring
sekarang ini dengan selang infus di tanganku. Mereka seperti tidak punya salah
kepadaku, “apa mereka tidak sadar aku begini karen kelakuan bejat mereka,
cintaku terbalas luka yang begitu dalam hingga aku tak sanggup mengerti arti
cinta, apakah itu semua benar-benar karena cinta”, pikirku kesal dengan
sikap mereka yang tampak santai tak berdosa.
“bagaimana sekarang keadaanmu
Sil?” tanya
Firza dengan senyum manisnya yang kini membuatku benci kepadanya.
“kamu sepertinya kecapean
Vi...” sambung
bang Sidar menanggapi Firza yang pertanyaannya tidak ku jawab.
“bukan kecapean, aku seperti
ini karena kelakuan bejat kalian berdua yang tega mengkhianati aku. Kalian
harusnya tahu selama ini aku memendam perasaan kepada kamu Firza, tapi seperti
tidak mau tahu kalian acuhkan apa yang sudah aku perbuat sebagai tanda-tanda
bahwa aku mencintai Firza. Aku sakit seperti ini setelah melihat sms mesra
kalian tadi pagi, pantas saja selama ini kalian begitu akrab di luar kebiasaan
kalian masing-masing yang ku kenal sulit bergaul dengan orang lain di sekitar
kalian dan ternyata selama ini aku salah menilai baik kebersamaan kalian yang
bertopeng persahabatan. Aku juga mengerti sekarang kenapa bang Sidar tidak
pernah mau memperkenalkan kekasihnya yang aku pikir seorang gadis, dan aku juga
mengerti kenapa begitu sulit bagi Firza membuka hati untukku, bahkan hanya
untuk menjawab apa yang sudah aku ungkapkan. Seharusnya kalian menyadari kalau
selama ini aku memberikan isyarat kepada Firza bahwa aku menyukainya, namun
kalian seperti mengacuhkan semua yang aku ungkapkan lewat isyarat itu seolah
kalian tak mau mengerti.” Dengan
bercucuran airmata aku mengungkapkan kekecewaanku kepada mereka berdua, dan
mereka berdua tertunduk tak mampu menyanggah apa yang aku katakana, hanya
sesekali mereka berusaha meminta maaf kepadaku. Sungguh ini hal yang tak pernah
aku bayangkan sebelumnya selama hidupku.
Kebencianku dengan kelakuan mereka
terlapau membuncah, aku seperti tak ingin tahu sebab kenapa mereka berbuat
seperti itu. Aku tak ingin sedikitpun mendengar alasan mereka, yang aku tahu
hanya kesakitan hatiku yang terlampau berdarah dengan semua ini. Aku baru tahu
kalau sebelum mengenalku ternyata Firza telah lebih dahulu mengenal bang Sidar
dari facebook selagi keluargaku masih di Banjarmasin. Dan salahsatu
alasan bang Sidar mau ikut pindah dan kuliah di Bandung ternyata karena Firza,
pantas saja sikap Firza berubah kepadaku setelah dia tahu aku di antar sekolah
oleh seorang laki-laki yang dia cintai yang merupakan kakak kandungku sendiri.
Sebulan sudah aku tidak mengikuti
kegiatan belajar mengajar di sekolah karena kondisi fisikku yang masih lemah
dan bahkan semakin melemah. Aku hanya sendiri di rumah di rawat Bi Milah yang
setia mengurusku dan segala keperluanku, dan sesekali Hera, Firza dan
teman-teman yang lain bergantian menjengukku di rumah. Bang Sidar semakin sibuk
dengan kuliahnya karena seminggu lagi akan mengikuti UAS (Ujian Akhir
Semester). Dengan kondisiku yang semakin lemah sepertinya Ujian Nasional tak
bisa aku ikuti tahun ini kecuali aku diperbolehkan ujian di rumah.
Aku tak tahu apa yang sedang terjadi
kepadaku, kenapa kondisiku semakin melemah sejak kejadian sebulan lalu yang
membuat aku begitu syok yang hingga saat ini kedua orangtuaku tidak
mengetahuinya. Bang Sidar dan Firza masih berhubungan baik karena aku berjanji
untuk mengerti dan semua yang terjadi pada kami bertiga tidak akan aku katakan
kepada siapapun tanpa terkecuali. Dan aku juga meminta mereka berdua untuk
memperbaiki kehidupan mereka dengan berusaha sembuh dan bersahabatlah dengan
secara normal.
Hari ini adalah tepat hari keempat
puluh aku terbaring lemah, aku kembali harus di rawat di rumah sakit dengan
ruangan yang lebih istimewa yaitu UGD (unit gawat darurat). Entah apa yang
tengah terjadi kepadaku, doker dan para suster yang merawatku sepertinya pasrah
dengan keadaanku. Airmataku tak bisa ku bendung lagi tatkala keduaorangtuaku,
sahabat-sahabatku, dan kedua lak-laki yang aku cintai yaitu Bang Sidar dan
Firza meneteskan airmata melihat keadaanku, bahkan mamah dan papa sampai
menangis sesenggukan tanpa bicara apapun selain “kami sayang kamu nak”,
hanya itu yang papa dan mamah ucapkan sembari menangis sambil memelukku erat.
Dan ternyata aku baru tahu bahwa aku terkena kanker otak yang sudah sampai pada
stadium akhir ketika dokter menjelaskan kebingunganku dengan segala keadaanku
saat ini. Airmataku semakin deras membasahi pipi, dan tangisan mereka yang ada
di ruangan ini semakin keras seperti aku benar-benar akan mati hari ini.
Dadaku semakin sesak padahal papa dan
mamah sudah tak memelukku erat lagi, nafasku semakin berat, dan mataku seperti
enggan juga untuk berkedip. Ku tatap satu persatu mereka yang ada di
sekelilingku, aku sangat merindukan mereka padahal mereka kini ada di dekatku. “bang
Sidar, peluk aku bang…!” aku tak tahu kenapa aku ingin sekali di peluk oleh
abangku yang paling ku cintai ini, dan rasanya hangat sekali pelukan abangku
ini, aku merasa begitu tenang dan aman berada dalam pelukannya. Di dalam
pelukan bang Sidar aku masih bisa melihat Firza yang berdiri tepat di sebelah
kananku dengan senyuman manisnnya, dan senyuman manis itu tertutupi kabut hitam
dan pelukan bang Sidarpun kini seperti terlepas seiring memudarnya senyuman
Firza di telan kegelapan yang membawaku jauh dari mereka. Aku seperti terbang
di bawa dua pemuda tampan berjubah putih nan indah kedalam keindahan yang tak
akan pernah menyakitkanku lagi. “Selamat tingal…”.