Senin, 31 Desember 2012

`*Silvia, Firza & Sidar*`


Mentari pagi ini sudah mulai menyapaku dengan hangatnya,ia tersenyum hangat menyambutku yang hari ini akan menjalani hari baru di sekolah yang baru. Sejak jam enam pagi aku sudah siap untuk sarapan dan segera berangkat ke sekolah baruku yang ku bayangkan akan lebih ramai daripada sekolah lamaku yang aku tinggalkan karena aku dan keluargaku pndah rumah ke kota kembang Bandung ini.
            Papaku sepertinya ingin membuat aku semakin penasaran dengan sekolahku yang baru, dia lama sekali aku tunggu-tunggu sejak tadi untuk mengantarku sekolah di sekolah yang baru. Pikiranku terus menerka-nerka dengan keadaan sekolahku yang akan sangat mengasyikan dan di huni oleh orang-orang yang karasep dan gareulis kalau bahasa Bandungnya yang berarti ganteng-ganteng dan cantik-cantik karena yang aku tahu katanya orang Bandung itu terkenal dengan keramahannya dan kerupawanannya.
Akhirnya berangkat juga aku sekolah, rumahku semakin menghilang dari kaca spion, jantungku dag dig dug tak karuan, aku begitu senang dengan kota ini dan semoga aku juga bisa senang dengan sekolah baruku nanti. Papa terus menyemangati aku, dia terus menceritakan keadaan kota ini dan sekolah baru yang sedang ku tuju ini. Ayah sedikit ngebut karena tak ingin aku datang terlambat di hari pertamaku.
Akhirnya aku sampai di sekolah baruku yaitu SMA Nusa Bhakti dengan tepat waktu, dan bahkan aku masih punya sepuluh menit untuk bisa bernafas lega terlebih dahulu sebelum memasuki kelas baruku sementara papaku ngobrol dengan pihak kepala sekolah. Sembilan menit kemudian pak kepala sekolah keluar dari ruangannya dan mengajak aku yang sejak tadi duduk di depan ruang kepala sekolah menunggu ayahku bicara dengan beliau untuk mengikutinya menuju kelas baruku di SMA Nusa Bakhti ini. Setelah papaku berpamitan untuk segera ke kantornya, aku segera mengikuti langkah kaki tegas bapak kepala sekolah yang gagah di depanku ini, aku tertunduk mengikuti beliau karena tatapan anak-anak yang ada di sekolahku yang baru ini membuat aku merasa sedikit aneh, mungkin karena aku murid baru yang asing dengan mereka.
Langkah kakiku akhirnya sampai juga di dalam kelas yang kata pak kepala sekolah ini adalah kelas baruku, belum ada guru yang masuk kelas ini, hanya ada para siswa/i yang masih asyik ngobrol dan bercanda semaunya namun semua terdiam sesaat ketika aku masuk kelas ini, lebih tepatnya karena bersamaku ada pak kepala sekolah. “Assalamu’alaikum... anak-anak hari ini kalian mendapatkan teman baru di kelas ini, silahkan perkenalkan nama dan asalmu!” pak kepala sekolah menyapa mereka dan mempersilahkan aku untuk segera memperkenalkan diri dan asalku.
“Teman-teman, namaku Silvia Ridha Adiguntara, aku pindahan dari Banjarmasin karena ayahku di pindah tugaskan ke kota ini. Kalian boleh memanggilku Silvi, terimakasih!” itulah perkenalan siangkatku.
setelah aku memperkenalkan diriku, pak kepala sekolah sedikit memberikan penjelasan kepada mereka tentang kepindahanku ke sekolah ini, dan selama beliau bicara aku melayangkan pandanganku ke sekeliling kelas ini, dan ternyata yang aku perkirakan benar adanya bahwa taman-teman baruku di sini memang keren-keren duh aku pasti betah deh ada di sekolah ini, dan pastinya aku juga tidak akan kalah keren dengan mereka. Pak kepala sekolah mempersilahkan aku duduk, karena ibu guru yang akan mengajar pertama di kelas ini sudah datang dan pak kepala sekolah menutup pembicaraannya dengan salam dan senyum ramah yang menguatkan kepribadiannya yang penuh karisma ketegasan.
ada satu objek pandangan yang mencuri perhatianku, tepat di barisan tempat dudukku selang dua orang saja ada seorang yang membuat jantungku seperti genderang perang berdetak tak menentu. Beberapa saat pandanganku terpaku padanya, dan sekilas ku palingkan wajahku saat tak sengaja dia menoleh ke arahku yang sejak tadi memperhatikannya, namun sekilas mata kami bertemu pandang dan dia segera berpaling dengan wajah yang tak ramah. Aku semakin penasaran dengan si tampan penuh pesona itu, siapa ya namanya.
Seminggu telah ku lalui dengan sangat menyenangkan di sekolah ini, aku kini sudah memiliki seorang teman akarab bernama Herawati Anggraeni dan aku juga sudah tau nama laki-laki yang sejak beberapa waktu lalu mencuri perhatian dan konsentrasiku, ya Firza Rahadinanta, itulah nama lelaki yang ku kagumi dan mencuri perhatianku sejak aku masuk kelas ini, namun sikap pendiamnya membuat aku kesulitan untuk bisa kenal bahkan untuk akrab dengannya, tapi aku yakin pesona kecantikanku suatu saat akan membuatnya sadar bahwa aku tak pantas di sia-siakan seperti ini.
Waktu yang paling membosankan adalah waktu setelah pulang dari sekolah dan hanya terdiam sendiri di rumah tanpa ada teman untuk sekedar ngobrol. Mamah dan papa sama-sama kerja sehingga aku hanya di rumah saja dengan bibi yang bekerja dan tak bisa aku ajak ngobrol. Sepanjang jalan aku terdiam di dalam angkot dengan panasnya udara hari ini membuatku tak bersemangat pulang ke rumah dan berdiam diri, namun hanya itu yang bisa ku lakukan karena aku belim memiliki banyak teman untuk ku ajak bermain dan jalan-jalan, Hera tak mau akau ajak ke rumah karena dia ada acara keluarga. Setibanya di rumah ada hal yang tak biasa,ada suara musik dari kamar di sebelah kamarku yang mamah persiapkan untuk kamar bang Sidar. Asyik berarti Bang Sidar sudah ada di rumah ini dan aku yakin aku tak akan pernah kesepian lagi.
Akhirnya bang Sidar mau juga ikut pindah ke kota Bandung ini, dan ia juga akan segera mengurus administrasi di kampus barunya nanti di Bandung, dan ternyata hanya aku yang tak tahu kalau bang Sidar ikut pindah ke sini, mamah dan papa sudah tau sejak awal kalau memang bang Sidar mau ikut pindah, dan mulai besok aku tak akan pergi ke sekolah dan pulang dari sekolah dengan angkot lagi karena setidaknya sebelum bang Sidar melanjutkan kuliahnya aku akan diantar jemput asyik!.
Ada hal yang sungguh ajaib hari ini, ini adalah pertama kalinya Firza menyapaku dan berbicara padaku setelah seminggu lebih aku berada di sekolah ini. Ternyata Tuhan mendengar do’aku dan benar perkiraanku kalau suatu saat Firza akan mendekat juga padaku, walaupun ini belum apa-apanya sih, tapi setidaknya Firza mau menyapaku saja aku sudah bahagia. Firza menyapaku dan bicara padaku hanya untuk menanyakan siapa yang mengantarku tadi pagi dan apa hubunganku dengan si tampan yang mengantarku tadi pagi ke sekolah. Ku rasa Firza cemburu dengan Bang Sidar yang terlihat mesra dan akrab denganku tadi pagi sebelum aku masuk gerbang sekolah. Asyikkkk sebentar lagi aku akan menaklukan Firza, dan bang Sidar akan ku jadikan senjata ampuh sebelum aku katakan yang sesungguhnya kepada Firza bahwa bang Sidar itu adalah kakak kandungku yang paling tampan dan baik hati.
Kaget bukan main ketika ku masuki rumahku hari ini, ini adalah minggu ketiga aku sekolah di sekolah paforit itu, dan ini hal yang sangat ajaib aku bisa melihat Firza sedang duduk manis di sofa tamu di ruang tamu rumahku. Masih tak bisa ku percaya Firza ada di hadapanku saat ini, aku mengucek-ngucek mataku dan mencubit tanganku sendiri untuk memastikan jika aku tidak sedang bermimpi atau berhayal. “Eh Firza sudah datang, silahkan di minum jusnya!” suara bang Sidar yang baru saja masuk rumah mempersilahkan Firza untuk meminum jus alpukat yang sudah di suguhkan Bi Milah. Aku semakin heran dan semakin tak percaya dengan apa yang aku alami saat ini bahwa Firza sedang berada di dalam rumahku sendiri, dan hal yang semakin membuatku heran bang Sidar sudah mengenal Firza, dan ini berarti Firza tahu kalau aku adalah adiknya bang Sidar bukan pacarnya bang Sidar.
Malu setengah mati, namun ini adalah hasil dari kebodohan dan kecerobohanku sendiri, seharusnya aku bekerja sama dengan bang Sidar dan kompromi bahwa kita sepakat pura-pura pacaran jika ada teman yang mempertanyakan hubungan kami. Namun nasi sudah menjadi basi dan kini mau tidak mau aku harus mengakui kebohonganku kepada Firza bahwa aku adalah adik kandungnya bang Sidar. Tapi aku masih belum mengerti bagaimana bisa bang Sidar kenal dengan Firza, setahuku setelah memastikan aku masuk gerbang sekolah dan setelah aku sms bahwa aku sudah menunggu untuk di jemput, bang Sidar tidak pernah sampai menungguku lama di sekolah, jadi agak mengherankan juga mereka berdua bisa kenal, tapi sudahlah semua itu tidak penting, aku yakin Firza mampu berbuat seperti ini hanyaingin tahu kebenaran tentang hubunganku dengan bang Sidar yang ternyata adalah kakak kandungku satu-satunya.
Sejak saat pertemuanku dengan Firza di rumahku sendiri dan obrolan kami bertiga tentang kebohonganku waktu itu, aku dan Firza semakin dekat bahkan tak jarang Firza mengantarku pulang dan main di rumahku dengan bang Sidar sampai sering menginap juga karena memang orangtuanya Firza sama sibuknya dengan orangtuaku bahkan lebih sibuk lagi sampai-sampai Firza sering di tinggal sendiri keluar kota untuk urusan pekerjaan sejak kecil.
Aku merasa begitu bahagia akhir-akhir ini, setahun sudah aku hidup di kota Kembang ini dengan sangat menyenangkan dan semakin akrab dengan teman-teman sekelas, seorganisasi dan ekskul, dan yang lebih membuatku bahagia adalah aku bisa begitu sangat akrab dengan Firza yang aku sukai sejak awal aku masuk sekolah di Bandung ini. Dan bukan hanya denganku Firza juga sangat akrab dengan bang Sidar dan kedua orangtuaku sehingga ia sudah dianggap sebagai anak sendiri oleh kedua orangtuaku. Ini membuatku semakin yakin kalau aku bisa menjadi pacarnya Firza maka seluruh anggota keluargaku pasti akan setuju-setuju saja karena mereka sudah sangat mengenal Firza dengan baik. Namun aku bingung dengan sikap Firza yang begitu perhatian denganku dan keluargaku, hingga detik ini ia tak pernah mengatakan apa-apa tentang perasaannya kepadaku seperti yang aku rasakan kepadanya dan aku harapkan darinya kepadaku.
Hera sepertinya hafal betul dengan kebiasaanku yang selalu menceritakan apa yang terjadi, dan apa yang aku dan bang Sidar obrolkan dengan Firza saat kami berada di rumahku. Sehingga ia sering sekali memberikanku dorongan agar aku saja yang terlebih dahulu mengungkapkan perasaan cintaku kepada Firza sebelum Firza benar-benar memilih yang lain dan aku hanya bisa menangis karena tak pernah memanfaatkan kesempatan untuk jujur tentang perasaan cinta yang aku pendam setahun lamanya.
Hari ini aku akan mengajak Firza untuk pulang bersamaku kerumahku, dan di jalan akan aku ungkapkan apa yang mengganjal dalam hatiku selama ini tentang perasaan kagum yang berubah menjadi sayang dan perasaan sayang yang berubah menjadi cinta dalam hatiku ini. “boleh, kebetulan aku juga ingin mengembalikan buku abangmu yang aku pinjam, tapi kamu kabarin dulu bang Sidar supaya dia tidak menjemputmu hari ini”, ungkap Firza menanggapi ajakanku hari ini. Aku senang mendengarnya, dan aku harus yakin kalau rencanaku hari ini akan berhasil. Di tengah perjalanan aku minta berhenti dulu untuk mampir di cafe yang kami lewati untuk makan siang bersama dan disinilah aku akan menjalankan misiku.
Firza makan dengan lahap tanpa memperdulikanku, dia menikmati hidangan demi hidangan yang ada di meja dan sesekali meminum jus alpukat kesukaannya. Meskipun demikian Firza tetap kelihatan tampan dan sangat mempesona, dengan cara makannya yang seperti itu membuatku tersenyum sendirian karena dia terlihat begitu lucu. Aku tidak begitu banyak menyantap makanan karena kondisi perasaanku yang begitu tegang saat ini, aku lebih banyak menarik nafas untuk bersiap membuka percakapan dengannya yang ada di hadapanku, aku ingin dia tahu sesungguhnya perasaanku kepadanya, ya Tuhan bantulah aku!. Duh keringat dingin semakin desar mengucur dari dahiku, aku seperti sedang berada diantara harimau buas yang siap untuk menerkamku.
“Fif...Fi...Firza, aku mau kamu tahu tentang apa yang aku rasakan selama ini kepadamu bahw...” tergagap aku memulai pembicaraan ini setelah melihat Firza menyelesaikan makanannya.
“Silvia... ada apa denganmu, wajahmu pucat sekali?” segera Firza memotong pembicaraanku setelah ia tersadar wajahku pucat pasi seperti kehabisan darah.
“tit..tidak apa-apa, jangan dihiraukan, aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku mencintaimu...!!!” dengan setengah mati aku mengungkapkan perasaanku, dan di kalimat terakhir aku setengah membentak mengeluarkan kata yang selama ini sulit untuk ku ungkapkan kepada pemuda tampan yang ada di hadapanku ini. Aku tak perduli apa yang sedang dia pikirkan saat ini tentang aku, yang penting aku sudah berusaha sejujur-jujurnya tentang perasaanku dan ini membuatku sedikit lebih tenang, dan rasanya aku sudah mengeluarkan biji kedondong dari tenggorokanku yang sekian lama menyiksaku.
Dengan sedikit kecewa aku pulang, punggung yang ada di hadapanku saat ini begitu hangat, dia yang selama ini membuatku begitu merindu, hari ini dengan sekuat-kuatnya harus menerima keputusannya bahwa dia tak bisa menjawab saat ini apa yang aku rasakan kepadanya, namun dia berjanji akan memberikan jawabannya kepadaku secepatnya. Setidaknya aku masih punya harapan dan aku akan berdoa kepada Tuhan semoga jawabannya tidak akan membuatku kecewa. Setibanya di rumah aku segera masuk kamar dan membiarkan Firza ditemani bang Sidar saja karena aku begitu merasa syok dengan apa yang baru saja aku alami.
Malam ini begitu kelabu bagiku, dalam penantianku atas jawabannya aku lebih banyak mengurung diri di kamar sejak tadi siang pulang sekolah, dan hujan di luar seolah mengerti dengan perasaanku yang gundah. Angin malam ini lebih kencang dari biasanya sehingga aku harus menutup rapat jendela kamarku yang biasanya aku buka lebar-lebar sampai tiba saatnya aku tidur. “Silvi, ayo makan dulu sini papa menunggu!”, suara mamah dari depan pintu kamarku membuat aku segera tersadar dari lamunan kosongku. Dan aku segera merapat ke meja makan karena perutku juga sudah begitu lapar. Namun aku tak melihat bang Sidar di meja makan, mamah segera menyuruhku kembali keatas untuk mengajak bang Sidar makan, dan dengan langkah yang berat dan terpaksa aku kembali keatas dan segera masuk ke kamarnya bang Sidar yang sedikit terbuka. Aku melihat dua sosok tampan dalam kamar itu sedang sama-sama terbaring di kasur dengan posisi tangan mereka masing-masing memegang kepala seperti sedang asyik curhat, aku kira Firza sudah pulang, ternyata sejak tadi siang dia belum pulang dan bermain di kamar bang Sidar. Aku merasa iri dengan keakraban yang terjadi antara bang Sidar dengan Firza. Padahal di sekolah Firza sangat pendiam tapi dengan bang Sidar ia bisa seakrab itu, bahkan tidak merasa canggung bermain di kamar bang Sidar dan tidur bersama kalau sedang menginap.
Pagi ini hanya aku dan bang Sidar yang duduk sarapan di meja makan, karena Firza sudah pulang dari sejak subuh untuk ganti baju. Pagi ini aku malas datang ke sekolah karena aku merasa malu dengan Firza, inginnya aku di rumah saja sampai Firza benar-benar mau menjawab perasaanku dan memastkan hubungan kami. “Via tunggu dulu ya, abang ngambil jaket dulu di kamar”, aku hanya mengangguk menanggapi permintaan bang Sidar untuk menunggunya mengambil jaketnya di kamar. Namun tak lama kemudian setelah bang Sidar berlalu ke kamarnya, handphonenya bang Sidar yang di tinggal di meja makan berbunyi sepertinya ada sms masuk dan aku iseng membukanya dengan sedikit penasaran sms dari siapa yang masuk ke handphone bang Sidar.
“Yank, tolong kalau kamu nganter silvi ke sekolah bawain buku Kimia aku yang ketinggalan di kamar kamu ya,hari ini mau dipake. Makasih Yank ‘I LOVE YOU’”.
Bagai di sambar petir di siang bolong dan di dera hujan aku kaget bukang kepalang dengan pesan singkat yang baru saja aku baca di handphonenya bang Sidar. Airmataku seketika meleleh membasahi pipiku dan mulutku berteriak “Tidak!!!” tanda kekecewaanku dengan kenyataan yang baru saja menimpaku begitu dahsyat. Dua lelaki yang begitu aku kagumi dan aku cintai ternyata mereka sama-sama saling mencintai tanpa perduli jenis mereka yang sama sebagai laki-laki.
“Aku dimana ini?” ketika membuka mata aku kaget karena aku kini berada di ruangan yang seperti desain rumah sakit, dan ternyata benar ini adalah rumahsakit. “sedang apa aku disini, kenapa aku disini?” gumamku dalam pikir.
“jangan banyak pikiran, beristirahatlah sebentar lagi orangtuamu kesini!, tadi kamu diantar abangmu kesini karena pingsan.” jelas seorang dokter yang sepertinya mengerti kebingunganku.
“lalau sekarang dimana bang Sidar?”
“dia ada diluar, mau aku panggilkan? Tanya dokter itu sambil memeriksa keadaanku.
Sejurus setelah doketr yang memeriksaku keluar bang Sidar di ikuti Firza masuk kedalam kamar tempatku berbaring sekarang ini dengan selang infus di tanganku. Mereka seperti tidak punya salah kepadaku, “apa mereka tidak sadar aku begini karen kelakuan bejat mereka, cintaku terbalas luka yang begitu dalam hingga aku tak sanggup mengerti arti cinta, apakah itu semua benar-benar karena cinta”, pikirku kesal dengan sikap mereka yang tampak santai tak berdosa.
“bagaimana sekarang keadaanmu Sil?” tanya Firza dengan senyum manisnya yang kini membuatku benci kepadanya.
“kamu sepertinya kecapean Vi...” sambung bang Sidar menanggapi Firza yang pertanyaannya tidak ku jawab.
“bukan kecapean, aku seperti ini karena kelakuan bejat kalian berdua yang tega mengkhianati aku. Kalian harusnya tahu selama ini aku memendam perasaan kepada kamu Firza, tapi seperti tidak mau tahu kalian acuhkan apa yang sudah aku perbuat sebagai tanda-tanda bahwa aku mencintai Firza. Aku sakit seperti ini setelah melihat sms mesra kalian tadi pagi, pantas saja selama ini kalian begitu akrab di luar kebiasaan kalian masing-masing yang ku kenal sulit bergaul dengan orang lain di sekitar kalian dan ternyata selama ini aku salah menilai baik kebersamaan kalian yang bertopeng persahabatan. Aku juga mengerti sekarang kenapa bang Sidar tidak pernah mau memperkenalkan kekasihnya yang aku pikir seorang gadis, dan aku juga mengerti kenapa begitu sulit bagi Firza membuka hati untukku, bahkan hanya untuk menjawab apa yang sudah aku ungkapkan. Seharusnya kalian menyadari kalau selama ini aku memberikan isyarat kepada Firza bahwa aku menyukainya, namun kalian seperti mengacuhkan semua yang aku ungkapkan lewat isyarat itu seolah kalian tak mau mengerti.” Dengan bercucuran airmata aku mengungkapkan kekecewaanku kepada mereka berdua, dan mereka berdua tertunduk tak mampu menyanggah apa yang aku katakana, hanya sesekali mereka berusaha meminta maaf kepadaku. Sungguh ini hal yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya selama hidupku.
Kebencianku dengan kelakuan mereka terlapau membuncah, aku seperti tak ingin tahu sebab kenapa mereka berbuat seperti itu. Aku tak ingin sedikitpun mendengar alasan mereka, yang aku tahu hanya kesakitan hatiku yang terlampau berdarah dengan semua ini. Aku baru tahu kalau sebelum mengenalku ternyata Firza telah lebih dahulu mengenal bang Sidar dari facebook selagi keluargaku masih di Banjarmasin. Dan salahsatu alasan bang Sidar mau ikut pindah dan kuliah di Bandung ternyata karena Firza, pantas saja sikap Firza berubah kepadaku setelah dia tahu aku di antar sekolah oleh seorang laki-laki yang dia cintai yang merupakan kakak kandungku sendiri.
Sebulan sudah aku tidak mengikuti kegiatan belajar mengajar di sekolah karena kondisi fisikku yang masih lemah dan bahkan semakin melemah. Aku hanya sendiri di rumah di rawat Bi Milah yang setia mengurusku dan segala keperluanku, dan sesekali Hera, Firza dan teman-teman yang lain bergantian menjengukku di rumah. Bang Sidar semakin sibuk dengan kuliahnya karena seminggu lagi akan mengikuti UAS (Ujian Akhir Semester). Dengan kondisiku yang semakin lemah sepertinya Ujian Nasional tak bisa aku ikuti tahun ini kecuali aku diperbolehkan ujian di rumah.
Aku tak tahu apa yang sedang terjadi kepadaku, kenapa kondisiku semakin melemah sejak kejadian sebulan lalu yang membuat aku begitu syok yang hingga saat ini kedua orangtuaku tidak mengetahuinya. Bang Sidar dan Firza masih berhubungan baik karena aku berjanji untuk mengerti dan semua yang terjadi pada kami bertiga tidak akan aku katakan kepada siapapun tanpa terkecuali. Dan aku juga meminta mereka berdua untuk memperbaiki kehidupan mereka dengan berusaha sembuh dan bersahabatlah dengan secara normal.
Hari ini adalah tepat hari keempat puluh aku terbaring lemah, aku kembali harus di rawat di rumah sakit dengan ruangan yang lebih istimewa yaitu UGD (unit gawat darurat). Entah apa yang tengah terjadi kepadaku, doker dan para suster yang merawatku sepertinya pasrah dengan keadaanku. Airmataku tak bisa ku bendung lagi tatkala keduaorangtuaku, sahabat-sahabatku, dan kedua lak-laki yang aku cintai yaitu Bang Sidar dan Firza meneteskan airmata melihat keadaanku, bahkan mamah dan papa sampai menangis sesenggukan tanpa bicara apapun selain “kami sayang kamu nak”, hanya itu yang papa dan mamah ucapkan sembari menangis sambil memelukku erat. Dan ternyata aku baru tahu bahwa aku terkena kanker otak yang sudah sampai pada stadium akhir ketika dokter menjelaskan kebingunganku dengan segala keadaanku saat ini. Airmataku semakin deras membasahi pipi, dan tangisan mereka yang ada di ruangan ini semakin keras seperti aku benar-benar akan mati hari ini.
Dadaku semakin sesak padahal papa dan mamah sudah tak memelukku erat lagi, nafasku semakin berat, dan mataku seperti enggan juga untuk berkedip. Ku tatap satu persatu mereka yang ada di sekelilingku, aku sangat merindukan mereka padahal mereka kini ada di dekatku. “bang Sidar, peluk aku bang…!” aku tak tahu kenapa aku ingin sekali di peluk oleh abangku yang paling ku cintai ini, dan rasanya hangat sekali pelukan abangku ini, aku merasa begitu tenang dan aman berada dalam pelukannya. Di dalam pelukan bang Sidar aku masih bisa melihat Firza yang berdiri tepat di sebelah kananku dengan senyuman manisnnya, dan senyuman manis itu tertutupi kabut hitam dan pelukan bang Sidarpun kini seperti terlepas seiring memudarnya senyuman Firza di telan kegelapan yang membawaku jauh dari mereka. Aku seperti terbang di bawa dua pemuda tampan berjubah putih nan indah kedalam keindahan yang tak akan pernah menyakitkanku lagi. “Selamat tingal…”.